Monday, December 3, 2012

Negosiasi Identitas Santri Berhadapan dengan Realitas Kehidupan Mahasiswa dan Kampus

Oleh : Exma Mu'tatal Hikmah*
Mahasantri. Bukan merupakan istilah yang tidak asing bagi kita khususnya alumni pesantren yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Secara terminologis, kata itu hanya terlihat sebagai gabungan kata “maha” yaitu besar atau dalam hal ini adalah “mahasiswa” dan “santri” yang merupakan komponen dari suatu pesantren, insan yang lahir dari rahim pesantren. Namun ketika kita coba untuk menjiwai makna dari kata “mahasantri” tersebut, kata itu bukan sebuah kata biasa.
Melihat makna, sifat dan syarat bagaimana seseorang dapat diebut “santri” dan bagaimana seseorang disebut “mahasiswa” dan kemudian disatukan memang akan terdapat banyak perbedaan sebab pada dasarnya dimensi berbeda, dengan biogenesis yang berbeda pula. Seperti contoh, kasarannya bisa jadi terlintas di fikiran kita ; bagaimana mungkin seseorang kuliah dengan memakai sarung?. Maka kemudian digunakan berfikir reflektif, dan muncullah kata “mahasantri” sebagai kombinasi santri dan mahasiswa.
Selanjutnya, seperti apakah orang yang disebut “mahasantri” itu?
Dewasa ini bukan merupakan suatu yang aneh melihat kalangan santri berhasil lolos masuk seleksi perguruan tinggi, bahkan mampu bersaing dengan kalangan non santri. Hal ini dapat kita telusuri asalnya adalah dapat karena model pengajaran pesantren yang terpadu atau disebut pesantren modern atau terpadu. Pesantren  modern ini tidak hanya focus terhadap kajian kitab klasik namun juga pada ilmu – ilmu umu seperti social, eksakta, bahasa dan lain – lain. Adanya perubahan dalam konsep pesantren ini akhirnya melahirkan santri yang unggul dalam hal agama dan umumnya, maka bukan merupakan suatu yang aneh bila mereka mampu bersaing dengan kalangan non santri
Kembali ke topik awal terkait Mahasantri. Memegang identitas santri bukanlah suatu yang mudah, dengan realitas kehidupan kampus yang merupakan kehidupan universal, dari seluruh kalangan, terlebih pada perguruan tinggi umum. Hal terburuk yang akan terjadi adalah hilangnya eksistensi santri pada kehidupan sehari-harinya, dengan melakukan hal – hal yang bukan menunjukkan “kesantrian”nya.
Dapat dilihat fenomena sekarang, dari mulai cara berpakaian, social atau pergaulan dengan kawan, hingga pada pola berfikir. Bukan suatu yang sulit lingkungan yang universal ini dapat merubah identitas dan eksistensi santri. Dan kemudian hingga munculnya tanggapan dari khalayak tentang : Bagaimana santri itu hidup ketika menjadi santri dan kemudian ketika sudah tidak “nyantri”.
Sebenarnya tidak ada kata mantan santri, sejatinya seseorang tetap menjadi santri dan mempunyai guru, hanya pada wujudnya tidak ada kontak langsung selama beberapa kurun waktu, namun sekali lagi hal itu bukan merupakan suatu yang dikatakan “putus”.
Ketika melihat fenomena seseorang yang dulu nyantri di pesantren dan kemudian ketika sudah menjadi “mahasantri” berani melakukan sesuatu yang retorikanya tidak pantas dilakukan oleh santri, maka berbagai pertanyaan kembali bermunculan; jadi sebenarnya bagaimana karakter dari seorang mahasantri?
Menurut penulis pribadi, mahasantri santri yang lebih tinggi dibanding santri biasa sebab posisinya pada kehidupan perguruan tinggi, dan sudah merupakan keharusan untuk tetap menjaga identitas berikut eksistensinya. Jikalau terdapat perubahan dalam lingkungannya, seharusnya sudah mempunyai benteng untuk melindungi identitas santrinya. Namun pembentengan ini mempunyai batas, yakni tetap menjaga identitasnya juga untuk menjadi “mahasiswa”, maksudnya adalah tidak terlalu tertutup dan tidak terlalu terbuka. Menjadi mahasiswa dengan tanpa meninggalkan eksistensi kesantriannya, juga menjadi santri tanpa mengabaikan posisinya sebagai mahasiswa. Atau istilah jawa orang tua biasa membahasakan dengan : “Ngidul ora kengidulen, lor ora keloren”
Sekali lagi pendapat di atas merupakan kesubyektifan penulis dalam memaknai karakter seseorang yang disebut “Mahasantri”. Terlepas dari itu, seseorang mempunyai cara fikir tersendiri, dan mahasantri bukan lagi bocah yang harus diberitahu yang benar dan yang salah.
Akhirnya, semoga yang ada sekarang merupakan “Mahasantri” yang benar – benar bersifat kombinatif antara Santri dengan Mahasiswa.
Wallaahu a’lam bishshowaab.
Malang, 29 Nopember 2012

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Penerima beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi angkatan 2010.
Ditulis pada Festival Santri Indonesia Menulis di PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. 30 Nopember - 02 Desember 2012

2 comments:

Kisah Fajr said... Reply

nice mbak exma!
kenalin saya ammy, rahmi yuwan..
sayang kemarin gak ketemu pas munas >_<

mahasantri, bagaimanapun kentalnya kehidupan kampus, lagi-lagi, kita tetap "Mahasantri" ^^b
semangaat!!

Unknown said... Reply

Makasiih mba Ammy :)
Yang dr ITB itu yaah?

Wah iya sayaaang banget, tapi mba ikut Munas kaan? :)

Semangaaat. Proud to be Santrii :)

Post a Comment

 

Write Your Memories Template by Ipietoon Cute Blog Design