Oleh
: Exma Mu'tatal Hikmah*
Mahasantri. Bukan merupakan istilah yang tidak asing bagi kita khususnya
alumni pesantren yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Secara
terminologis, kata itu hanya terlihat sebagai gabungan kata “maha” yaitu besar
atau dalam hal ini adalah “mahasiswa” dan “santri” yang merupakan komponen dari
suatu pesantren, insan yang lahir dari rahim pesantren. Namun ketika kita coba
untuk menjiwai makna dari kata
“mahasantri” tersebut, kata itu bukan sebuah kata biasa.
Melihat makna, sifat dan syarat bagaimana seseorang dapat diebut “santri”
dan bagaimana seseorang disebut “mahasiswa” dan kemudian disatukan memang akan
terdapat banyak perbedaan sebab pada dasarnya dimensi berbeda, dengan
biogenesis yang berbeda pula. Seperti contoh, kasarannya bisa jadi terlintas di
fikiran kita ; bagaimana mungkin seseorang kuliah dengan memakai sarung?. Maka
kemudian digunakan berfikir reflektif, dan muncullah kata “mahasantri” sebagai
kombinasi santri dan mahasiswa.
Selanjutnya,
seperti apakah orang yang disebut “mahasantri” itu?
Dewasa ini bukan merupakan suatu yang aneh melihat kalangan santri
berhasil lolos masuk seleksi perguruan tinggi, bahkan mampu bersaing dengan
kalangan non santri. Hal ini dapat kita telusuri asalnya adalah dapat karena
model pengajaran pesantren yang terpadu atau disebut pesantren modern atau
terpadu. Pesantren modern ini tidak
hanya focus terhadap kajian kitab klasik namun juga pada ilmu – ilmu umu
seperti social, eksakta, bahasa dan lain – lain. Adanya perubahan dalam konsep
pesantren ini akhirnya melahirkan santri yang unggul dalam hal agama dan
umumnya, maka bukan merupakan suatu yang aneh bila mereka mampu bersaing dengan
kalangan non santri
Kembali ke topik awal terkait Mahasantri. Memegang identitas santri
bukanlah suatu yang mudah, dengan realitas kehidupan kampus yang merupakan
kehidupan universal, dari seluruh kalangan, terlebih pada perguruan tinggi
umum. Hal terburuk yang akan terjadi adalah hilangnya eksistensi santri pada
kehidupan sehari-harinya, dengan melakukan hal – hal yang bukan menunjukkan
“kesantrian”nya.
Dapat dilihat fenomena sekarang, dari mulai cara berpakaian, social atau
pergaulan dengan kawan, hingga pada pola berfikir. Bukan suatu yang sulit
lingkungan yang universal ini dapat merubah identitas dan eksistensi santri.
Dan kemudian hingga munculnya tanggapan dari khalayak tentang : Bagaimana
santri itu hidup ketika menjadi santri dan kemudian ketika sudah tidak
“nyantri”.
Sebenarnya tidak ada kata mantan santri, sejatinya seseorang tetap
menjadi santri dan mempunyai guru, hanya pada wujudnya tidak ada kontak
langsung selama beberapa kurun waktu, namun sekali lagi hal itu bukan merupakan
suatu yang dikatakan “putus”.
Ketika melihat fenomena seseorang yang dulu nyantri di pesantren dan
kemudian ketika sudah menjadi “mahasantri” berani melakukan sesuatu yang
retorikanya tidak pantas dilakukan oleh santri, maka berbagai pertanyaan
kembali bermunculan; jadi sebenarnya bagaimana karakter dari seorang
mahasantri?
Menurut penulis pribadi, mahasantri santri yang lebih tinggi dibanding
santri biasa sebab posisinya pada kehidupan perguruan tinggi, dan sudah
merupakan keharusan untuk tetap menjaga identitas berikut eksistensinya.
Jikalau terdapat perubahan dalam lingkungannya, seharusnya sudah mempunyai
benteng untuk melindungi identitas santrinya. Namun pembentengan ini mempunyai
batas, yakni tetap menjaga identitasnya juga untuk menjadi “mahasiswa”,
maksudnya adalah tidak terlalu tertutup dan tidak terlalu terbuka. Menjadi
mahasiswa dengan tanpa meninggalkan eksistensi kesantriannya, juga menjadi
santri tanpa mengabaikan posisinya sebagai mahasiswa. Atau istilah jawa orang
tua biasa membahasakan dengan : “Ngidul
ora kengidulen, lor ora keloren”
Sekali lagi pendapat di atas merupakan kesubyektifan penulis dalam
memaknai karakter seseorang yang disebut “Mahasantri”. Terlepas dari itu,
seseorang mempunyai cara fikir tersendiri, dan mahasantri bukan lagi bocah yang harus diberitahu yang benar dan yang salah.
Akhirnya, semoga yang ada sekarang merupakan “Mahasantri” yang benar –
benar bersifat kombinatif antara Santri dengan Mahasiswa.
Wallaahu a’lam bishshowaab.
Malang,
29 Nopember 2012
*Penulis merupakan Mahasiswa
Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, Penerima beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi
angkatan 2010.
Ditulis pada Festival Santri
Indonesia Menulis di PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. 30 Nopember - 02
Desember 2012
2 comments:
nice mbak exma!
kenalin saya ammy, rahmi yuwan..
sayang kemarin gak ketemu pas munas >_<
mahasantri, bagaimanapun kentalnya kehidupan kampus, lagi-lagi, kita tetap "Mahasantri" ^^b
semangaat!!
Makasiih mba Ammy :)
Yang dr ITB itu yaah?
Wah iya sayaaang banget, tapi mba ikut Munas kaan? :)
Semangaaat. Proud to be Santrii :)
Post a Comment